Tegal, diswaypekalongan.id – Di setiap daerah pastinya memiliki tradisi berbeda-beda untuk menyambut hari Raya Idul Fitri. Seperti di Tegal memiliki tradisi saat lebaran yakni tradisi gula satuangan.
Tradisi gula satuangan dilakukan masyarakat Tegal ketika silaturahmi yakni membawa gula satuangan (gula sekali tuang). Kata tersebut pun kerap kali diucapkan ketika bertamu.
Gula satuangan merupakan bawaan wajib yang terdiri dari gula, teh dan dilengkapi dengan kue. Bagi masyarakat Tegal, tidak membawa gula satuangan tidak elok rasanya ketika bertamu.
Bukan hanya gula, teh dan kue, sekarang bahkan masyarakat ada yang menggantinya dengan sirup dan biskuit.
Budayawan Tegal sekaligus Ketua Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi), Atmo Tan Sidik, mengatakan, istilah gula setuangan memiliki makna keindahan tersendiri yakni sebagai bentuk kerendahan hati seseorang kepada guru, bapak, mertua dan sedulur tua.
“Mereka akan membawa gula satuangan sebagai bawaan wajib sebagai rasa cinta dan hormat kepada yang dianggap lebih sepuh ketika bertamu,” katanya.
Ia sendiri tidak tahu persis kapan tradisi gula satuangan muncul, namun ia menilai tradisi tersebut ada seiring dengan peradaban ekonomi masyarakat.
Hal paling wajib dibawa saat silaturahmi yakni gula dan teh. Menurut pengamat budaya Tegal, Sumarno mengatakan bahwa tradisi lebaran di daerah Tegal kalau silaturahmi ke sanak saudara dan harus membawa gula dan teh tersebut.
“Kalau tidak membawa gula dan teh atau tangan kosong tentu tak elok rasanya” kata Sumarno.
“Sesuai dengan rasa gula yang manis. Sedangkan teh Tegal dikenal wasgitel yaitu wangi aromanya sepet rasa pekat legi, rasa yang disukai banyak orang dan kentel yang dimaknai hubungan antar manusia yang sangat lekat” ujarnya.
Esensi gula dan teh, kata Sumarno tentu tetap bisa menjadi bahan renungan bagi masyarakat. Ia menyampaikan bahwa pada sebagian orang tradisi minum teh barangkali merupakan hal biasa yang tidak memiliki keistimewaan.
“Lain halnya di Tegal, tradisi minum teh memiliki kekhasan dan keistimewaan karena terkait momentum lebaran yang mengandung berbagai dimensi, baik ekonomi, sosial, budaya dan spiritual,“ ungkapnya.
Sumarno tidak tahu persis sejarah awal barang bawaan ketika bersilaturahmi pada saat lebaran adalah bingkisan gula putih dan teh. Kenapa sampai menjadi semacam bawaan wajib, sedangkan kue atau jajanan hanya pelengkap saja.
Lebih lanjut, tradisi gula satuangan sudah dilakukan secara turun temurun dan masih dilakukan hingga saat ini. Bahkan menjelang lebaran permintaan pasar gula dan teh meningkatkan drastis.
Biasanya masyarakat Tegal membawa rata-rata gula yang dijadikan sebagai hantaran dengan bobot antara 500 gram-1000 gram.
Maka dalam sebutan masyarakat Tegal ketika menanyakan bersilaturahmi ke rumah saudara orang lebih cenderung menanyakan apa sudah mengirim Gula Teh. Karena sudah menjadi suatu kebiasaan, maka jauh-jauh hari masyarakat sudah mencicil beli gula teh. Apalagi menjelang lebaran pasti lebih ramai lagi.
Salah satu contohnya Adi Mulyadi yang merupakan warga Desa Mejasem Timur, Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah ia sibuk menata bingkisan- bingkisan untuk bawaan ketika hendak silaturahmi ke sanak saudara saat lebaran.
Bingkisan yang berisikan gula, teh, mie instan, minyak goreng, beras dan biskuit tersebut akan dibagikan kepada keluarga serta kerabatnya.
Tak hanya masyarakat Kota Tegal, Kabupaten Tegal saja yang ada tradisi gula satuangan ternyata di Brebes juga ada dan masih melakukan tradisi tersebut hingga sekarang.
Demikian pembahasan mengenai tradisi gula satuangan. Sebuah tradisi unik saat lebaran di Tegal.